728 x 90

BELAJAR PENGELOLAAN PERIKANAN DARI SASI KAMPUNG MENARBU-TELUK WONDAMA

BELAJAR PENGELOLAAN PERIKANAN DARI SASI KAMPUNG MENARBU-TELUK WONDAMA

"Sasi permanen di zona inti adalah kesepakatan masyarakat Menarbu sebagai tabungan bagi Kami dan anak cucu kedepannya"

Teluk Wondama (04/2022). Penggalan diatas kutipan dari Yohanis Ayamiseba Ketua Sasi Kampung Menarbu Distrik Roon Kabupaten Teluk Wondama Provinsi Papua Barat pada diskusi FGD Identifikasi Pengelolaan Perikanan Berbasis Adat Masyarakat Pesisir. Kegiatan Identifikasi yang dilaksanakan oleh GEF-6 CFI Indonesia pada 30 Maret sampai dengan 4 April 2022 untuk mengkaji Sasi sebagai salah satu instrumen pengelolaan perikanan berbasis masyarakat adat dan ekosistem (EAFM). Kegiatan ini dilaksanakan dengan maksud mendokumentasikan upaya pengelolaan perikanan berbasis adat masyarakat pesisir, memetakan profil sosial, budaya, dan kelembagaan lembaga masyarakat adat, serta merekomendasikan upaya-upaya penguatan pengelolaan perikanan agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat berkelanjutan dengan kelembagaan masyarakat adat pesisir di daerah.

Kabupaten Teluk Wondama merupakan salah satu Kabupaten dari Provinsi Papua Barat yang masuk dalam Taman Nasional Laut Teluk Cendrawasih (TNTC). Teluk Wondama mengcover hampir 80% dari total luas taman nasional tersebut. Sebagai bagian dari TNTC, Kabupaten Teluk Wondama mengelola potensi sumberdaya perikanannya dengan prinsip-prinsip perlindungan (konservasi) yang bersifat adaptif dan meminimalkan kerusakan sumberdaya ikan dan lingkungan. Satu satu model adaptif yang diterapkan adalah adalah Sasi Laut.

Menurut informasi dari masyarakat di Kampung Menarbu, model sasi yang dikenal dengan kadup (nama lokal) telah lama berkembang. Dimulai dari sasi hasil hutan seperti kelapa, pinang, sagu dan hasil lainnya. Tahun 1990an kadup diperluas untuk hasil laut. Awalnya sasi laut dilakukan dalam rangka penggalangan dana pembangunan Gereja.

Selanjutnya praktik Sasi (Kadup) diterapkan kembali pada tahun 2018 dengan masa waktu penutupan selama 2 tahun, yakni hingga tahun 2020. Sasi diberlakukan kembali setelah masa pembukaan selama 2 bulan, hingga saat ini. Direncanakan akan di buka kembali 17 Mei 2023.

Luasan sasi di Kampung Menarbu mencapai 1.194 Ha. Model sasinya terdiri atas dua yakni sasi permanen dan semi permanen. Sasi permanen diberlakukan di zona inti, tidak ada aktifitas penangkapan pada zona tersebut. Zona inti tersebut disepakati secara bersama sebagai tabungan sumberdaya ikan bagi keberlanjutan hidup masyarakat Menarbu. Sasi semipermanen di zona penyangga diberlakukan sistem buka tutup. Kegiatan penangkapan di zona penyangga (saat buka sasi) hanya menggunakan alat tangkap tradisional seperti handline. Dilarang menangkap menggunakan bom, potasium, racun, alat tanggap destruktif lainnya termasuk larangan penggunaan kompresor.

Masyarakat diperbolehkan menangkap ikan dikawasan pemanfaatan kecuali untuk biota yang dilindungi seperti Teripang, Kima, Lobster, Hiu, Dugong, Penyu dan ikan Napaleon. Larangan penangkapan ini ditaati oleh masyarakat Menarbu. Lahirnya kesadaran dan ketaatan kolektif yang kuat dan masif oleh masyarakat Menarbu terhadap Sasi tidak terlepas dari peran kelembagaan adat dan agama. Ada manifestasi kekuatan Tuhan dalam penerapan sasi. Sehingga ada kepercayaan bahwa mereka yang melanggar aturan sasi akan mendapat sanksi langsung dari Tuhan. Inilah nilai-nilai kepercayaan masyarakat Menarbu menjadikan sasi memiliki kekuatan dan kemampuan menjaga sumberdaya ikan dan ekosistemnya.

Penerapan sasi di Kampung Menarbu dirasa berdampak sangat positif. Setidaknya, Sasi dianggap dapat memulihkan tingkat reproduksi dan pertumbuhan sumber daya ikan dan satwa-satwa yang dilindungi. Berdasarkan laporan dari Yohanis, hasil pendataan di lokasi sasi ditemukan ikan ekonomis penting 96 spesies berasal dari 36 genius dan 20 family ikan karang dengan kisaran pajang tubuh ikan 10-100 cm. Lebih lanjut Yohanis menambahkan, dalam pendataan tersebut ditemukan pula ikan kharismatik Bumbphead Parrotfish (Bolbomatepon muricatum), ikan Napaleon (Chelianus unulatus), Penyu, Pari Pasir, dan juga Hiu. Begutipula jenis biota dasar (benthos) ekonomis penting ada yang dtemukan berupa 4 spesies kima, 5 spesies teripang, 3 jenis lobster, 1 jenis lola, dan 1 jenis pea-pea (bahasa lokal untuk sejenis kerang-kerangan).

Masyarakat Menarbu menerima dengan baik penerapan sasi laut di kampungnya. Hasil riset yang dilakukan oleh Universitas Papua menunjukan jumlah responden yang sangat puas dengan sasi mencapai 86%, puas 11% dan hanya 3% menyatakan cukup puas. Terlihat sasi bagi masyarakat dapat mengembalikan prinsip kepemilikan bersama atas sumberdaya perikanan. Sasi menciptakan keadilan sosial, ekonomi, dan ekologi, serta berperan dalam pencegahan dampak perubahan iklim. Mereka sadar imbas dari penerapan sasi adalah terjaminnya keberlanjutan sumberdaya kelautan. Sasi juga penting bagi nilai-nilai (values), hak (right), kelembagaan (institutional) masyarakat lokal (adat) yang melekat didalamnya.

Penilaian performa perikanan dengan menggunakan indikator EAFM yang dilaksanakan oleh akademisi setempat menunjukan bahwa status pengelolaan perikanan di Menarbu menunjukan level baik dengan skor 2,46.

Pada kesempatan diskusi FGD Identifikasi Pengelolaan Perikanan Berbasis Adat Masyarakat Pesisir, PMU GEF-6 CFI Indonesia juga menyampaikan gagasan terkait inisiasi Sasi Label. Menurut Adipati, Safeguard and Gender Specialist PMU GEF-6, Sasi Label merupakan inovasi pengembangan branding ecolabeling untuk komoditi dan perikanan yang dihasilkan dari kawasan Sasi laut. Adapun maksud dan tujuan Sasi label seperti yang disampaikan Ahadar, Knowledge Management Specialist PMU GEF-6, adalah memberikan label untuk komoditi dan produk keluaran dari kawasan sasi agar memiliki nilai tambah ekonomi dan menggairahkan masyarakat untuk tetap mengelola perikanan dengan pendekatan ekosistem dan berkelanjutan.

Pada kesempatan terpisah, Hendrik Mabror Bupati Teluk Wondama diwawancarai tentang sasi dan pembangunan perikanan di Teluk Wondama. Menurut Hendrik, Sasi telah lama berkembang di Teluk Wondama. “Sasi sudah ada dari dulu menjadi aktivitas turun temurun di masyarakat. Seperti di Kampung Sombokoro, (mereka) menggunakan istilah Sabora (sasi) yang artinya bersumpah dalam ikatan rohani yang kuat bahwa mereka tidak akan mengambil menangkap sesuatu disitu” Kata Hendrik.

Hendrik menyampaikan bahwa Pemerintah Daerah mendorong dan mendukung setiap ada kegiatan sasi termasuk menghadiri setiap acara pembukaannya guna memberikan dukungan kepada mereka dengan harapan kegiatan ini dapat terus terjaga. Selain Itu, Hendrik berharap agar Sasi terus memberikan edukasi kepada generasi muda agar menjaga kawasan perairan tetap lestari dan ketersediaan sumberdaya laut tetap terjaga untuk generasi yang datang. Lebih lanjut Bupati Teluk Wondama berharap ada partispasi dari berbagai pihak seperti yang dilakukan oleh GEF-6 CFI Indonesia untuk peningkatan pendapatan masyarakat teluk Wondama dari kegiatan sasi. Hendrik mengapresaisi GEF-6 yang telah beraktifitas melaksanakan kegiatan-kegiatannya di Kabupaten Teluk Wondama. “Pemerintah daerah Teluk Wondama mengucapakan terima kasih kepada GEF-6 CFI Indonesia” tambah Hendrik Mabror.

0 COMMENTS

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

0 Comments